Cerita dari taman surga --->
Tersebutlah tarekat mengabarkan, tatkala adam diciptakan dari campuran tanah hitam tinggallah beliau seorang diri dalam surga tujuh tingkat, taman firdaus Allah namakan. Taman indah yang tak terbandingkan, elok yang bukan alang-kepalang, malaikat Ridwan menjaganya. Berpohon berbuah-buahan, bersungai bertelaga indah, kalau lapar tinggal memetik, kalau haus tinggal meneguk,
angin berhembus membuaikan, kicauan burung membangunkan, tersentak bermain kembali, begitulah Adam sepanjang hari. Walau sesenang sedemikian hidup adam terasa canggung, laksana makan separuh kenyang, enak iya sejuk tidak, aman iya nyaman pun tidak, surga yang ramai sesepi kuburan, apakah gerangan penyebabnya ?
Karena duduk yang tak berpeintang, kalau tegak yang tak berpenghalang. Seorang diri tunggal berpaling. Hilir lalu mudik tak singgah, siapalah yang mau bercengrama. Burung terbang berombongan, rusa berlarian berpasangan. Jikalau ada seorang kawan, tempat bercengkrama berbagi rasa, alangkah senang di dalam hati bahagia yang tidak terkira.
Dan pada suatu malam, adam terbaring seorang diri. Mata terpejam pikiran tak mau hilang. Resah badan gelisah dalam pikiran, bergolek ke kiri bergolak kekanan. Maka bermohonlah beliau pada masa itu berpinta pada yang satu dengan tangis doa dilepas , “berilah aku seorang kawan “.
Dan pada sepenggal malam, kantuk tiba kuap mendatang, terkulai memeluk bantal. Tidur lelap sepanjang malam, subuh datang meleraikan, murai berkicau membangunkan. Maka baru tersentak dari tidurnya heranlah nabi adam. Siapa gerangan gadis disampingnya. Duduk bersimpuh di unjuran. Lunak lembut rambut tergerai. Memandang dengan sudut mata. Tersenyum punuh makna. Entah dari mana datangnya. Terdengarlah subuah suara,” wahai adam khalifatullah inilah yang engkau pinta, perempuan murni siti hawa dinamakan...”
Disitulah terucap nenek moyang kita, langsung beliau bersujud syukur kepada yang maha pencipta. “ Alhamdulillah syukurillah, terimakasih ya Rabbani, terimakasih yang maha pengasih, terima kasih yang maha penyayang”. Rupanya ketika terlelap tadi Tuhan mencipakan siti hawa dari patahan tulang rusuk adam sebelah kiri. “Kun fa ya kun” maka terciptalah hawa seketika sebagai tambatan hati adam selamanya.
Karena senang yang tak terkira, karena bahagia yang tak terhingga. Tergerak tangan Adam hendak menjamah siti hawa. Maka bergetarlah sebuah larangan. “ Wahai adam, sekalipun siti hawa kuciptakan untuk engkau, tunggu dulu sentuh menyentuh, sebelum nikah menghalalkan”
Maka terjadilah ijab kabul. Tuhanlah yang menikahkan, jibril menjadi walinya, ridwan menjadi saksinya, syahadat berganti mahar, barulah sah rumah tangga.
***
Perempuan itu memandangku, dan aku cepat memandang wajah ayahnya.
“aku nikahkan engkau dengan putriku alaisia binti abdullah dengan maskawin uang 100.000 rupiah dibayar tunai”
“saya terma nikahmya alaisia binti abdullah dengan maskawin uang 100.000 rupiah dibayar tunai”
Kalimat lelaki lelaki yang tengah sekarat itu begitu lancar tersambung dengan kalimat yang tertutur dari lisanku. Inikah jodoh itu?
“Sah ?”
“Sah ! “, kata orang orang di dalam kapal di tengah selat malaka.
Lautan serasa berhenti menepukkan ombak, angin serasa berhenti menghanyutkan awan, dan awan serasa berebut menyaksikan pernikah kami, meneduhkan kapal, sampai menghalangi pandangan matahari.
Alhamdulillah wasyukurillah terimakasih ya rabbani terima kasih yang maha pengasih, terimakasih yang maha pengayang.
Lelaki itu terkulai, setelah aku melepaskan tanganku.
“ayah !!!” pekik perempuan itu, pekik istriku.
***
Yang dimaksud perkawinan tidak lain dan tidaklah bukan adalah berhimpunnya dua anak cucu adam, dua orang yang belainan jenis dalam ikatan hukum syara’ tempat saluran lahir batin sepanjang naluri sunatullah. Maka wujud hakikatnya kalau berkumpul dua lelaki, berbaur dua perempuan itulah fasik jalan menyimpang, bukan bernama perkawinan. Kalau berhimpun sepasang suami istri diluar akadnikah, itu kumpul kebo istilahnya. Atau benar pun berijab-kabul, tunai rukun syaratnya, tapi kasih sayang tidak terasa, silaturahim tidak lagi ada maka hilang hakikat rumah tangga. Begitulah syara’ mengatur ukuran, menjaga harkat martabat manusia.
Maka ingatlah umat muhammad, nikah dan kawin itu sunah. Suruhan nyata dalam agama. Nilai ibadah kandungannya. Oleh sebab karena itu masukin pintu perkawinan dengan langkah sunah semata. Luruskan niat karena lillahita’ala bukan lilhawa dan nafsu...
Bersambung...
Karya : Ulil Amri
Source : http://www.facebook.com/notes/hilal-zammil-yuril/bukan-novel-cinta-bagian-keempat/10150859106140947?notif_t=note_tag
Tersebutlah tarekat mengabarkan, tatkala adam diciptakan dari campuran tanah hitam tinggallah beliau seorang diri dalam surga tujuh tingkat, taman firdaus Allah namakan. Taman indah yang tak terbandingkan, elok yang bukan alang-kepalang, malaikat Ridwan menjaganya. Berpohon berbuah-buahan, bersungai bertelaga indah, kalau lapar tinggal memetik, kalau haus tinggal meneguk,
angin berhembus membuaikan, kicauan burung membangunkan, tersentak bermain kembali, begitulah Adam sepanjang hari. Walau sesenang sedemikian hidup adam terasa canggung, laksana makan separuh kenyang, enak iya sejuk tidak, aman iya nyaman pun tidak, surga yang ramai sesepi kuburan, apakah gerangan penyebabnya ?
Karena duduk yang tak berpeintang, kalau tegak yang tak berpenghalang. Seorang diri tunggal berpaling. Hilir lalu mudik tak singgah, siapalah yang mau bercengrama. Burung terbang berombongan, rusa berlarian berpasangan. Jikalau ada seorang kawan, tempat bercengkrama berbagi rasa, alangkah senang di dalam hati bahagia yang tidak terkira.
Dan pada suatu malam, adam terbaring seorang diri. Mata terpejam pikiran tak mau hilang. Resah badan gelisah dalam pikiran, bergolek ke kiri bergolak kekanan. Maka bermohonlah beliau pada masa itu berpinta pada yang satu dengan tangis doa dilepas , “berilah aku seorang kawan “.
Dan pada sepenggal malam, kantuk tiba kuap mendatang, terkulai memeluk bantal. Tidur lelap sepanjang malam, subuh datang meleraikan, murai berkicau membangunkan. Maka baru tersentak dari tidurnya heranlah nabi adam. Siapa gerangan gadis disampingnya. Duduk bersimpuh di unjuran. Lunak lembut rambut tergerai. Memandang dengan sudut mata. Tersenyum punuh makna. Entah dari mana datangnya. Terdengarlah subuah suara,” wahai adam khalifatullah inilah yang engkau pinta, perempuan murni siti hawa dinamakan...”
Disitulah terucap nenek moyang kita, langsung beliau bersujud syukur kepada yang maha pencipta. “ Alhamdulillah syukurillah, terimakasih ya Rabbani, terimakasih yang maha pengasih, terima kasih yang maha penyayang”. Rupanya ketika terlelap tadi Tuhan mencipakan siti hawa dari patahan tulang rusuk adam sebelah kiri. “Kun fa ya kun” maka terciptalah hawa seketika sebagai tambatan hati adam selamanya.
Karena senang yang tak terkira, karena bahagia yang tak terhingga. Tergerak tangan Adam hendak menjamah siti hawa. Maka bergetarlah sebuah larangan. “ Wahai adam, sekalipun siti hawa kuciptakan untuk engkau, tunggu dulu sentuh menyentuh, sebelum nikah menghalalkan”
Maka terjadilah ijab kabul. Tuhanlah yang menikahkan, jibril menjadi walinya, ridwan menjadi saksinya, syahadat berganti mahar, barulah sah rumah tangga.
***
Perempuan itu memandangku, dan aku cepat memandang wajah ayahnya.
“aku nikahkan engkau dengan putriku alaisia binti abdullah dengan maskawin uang 100.000 rupiah dibayar tunai”
“saya terma nikahmya alaisia binti abdullah dengan maskawin uang 100.000 rupiah dibayar tunai”
Kalimat lelaki lelaki yang tengah sekarat itu begitu lancar tersambung dengan kalimat yang tertutur dari lisanku. Inikah jodoh itu?
“Sah ?”
“Sah ! “, kata orang orang di dalam kapal di tengah selat malaka.
Lautan serasa berhenti menepukkan ombak, angin serasa berhenti menghanyutkan awan, dan awan serasa berebut menyaksikan pernikah kami, meneduhkan kapal, sampai menghalangi pandangan matahari.
Alhamdulillah wasyukurillah terimakasih ya rabbani terima kasih yang maha pengasih, terimakasih yang maha pengayang.
Lelaki itu terkulai, setelah aku melepaskan tanganku.
“ayah !!!” pekik perempuan itu, pekik istriku.
***
Yang dimaksud perkawinan tidak lain dan tidaklah bukan adalah berhimpunnya dua anak cucu adam, dua orang yang belainan jenis dalam ikatan hukum syara’ tempat saluran lahir batin sepanjang naluri sunatullah. Maka wujud hakikatnya kalau berkumpul dua lelaki, berbaur dua perempuan itulah fasik jalan menyimpang, bukan bernama perkawinan. Kalau berhimpun sepasang suami istri diluar akadnikah, itu kumpul kebo istilahnya. Atau benar pun berijab-kabul, tunai rukun syaratnya, tapi kasih sayang tidak terasa, silaturahim tidak lagi ada maka hilang hakikat rumah tangga. Begitulah syara’ mengatur ukuran, menjaga harkat martabat manusia.
Maka ingatlah umat muhammad, nikah dan kawin itu sunah. Suruhan nyata dalam agama. Nilai ibadah kandungannya. Oleh sebab karena itu masukin pintu perkawinan dengan langkah sunah semata. Luruskan niat karena lillahita’ala bukan lilhawa dan nafsu...
Bersambung...
Karya : Ulil Amri
Source : http://www.facebook.com/notes/hilal-zammil-yuril/bukan-novel-cinta-bagian-keempat/10150859106140947?notif_t=note_tag
0 komentar:
Posting Komentar - Back to Content